Oleh: H. Supli Effendi Rahim
Hamba Allah, dosen dan peneliti FP dan PPS UNSRI, sup_effendi@yahoo.co.id HP +6282184824570 Komplek Bukit Sejahtera Blok DM 99 RT 56 Bukit Lama Palembang 30139 Indonesia Telp +62 711 441140 Palembang, 2007Video: http://www.youtube.com/watch?v=43t8bFztUuA
PENGANTAR
Panen hujan bukan hal baru. Pemanfaatan
air hujan untuk kehidupan manusia diyakini sama tuanya dengan
kedatangan manusia pertama dani bumi. Suatu referensi terbaik dan
terlengkap tentang proses terjadinya dan manfaat air hujan bagi
kehidupan manusia tertulis dalam firman Tuhan (Al-qur’an) sejak 1400
tahun yang lalu.
Penulis dilahirkan dan dididik dari
keluarga petani di salah satu desa kecamatan Seginim kabupaten Bengkulu
Selatan Bengkulu. Ayah penulis bernama H. A. Rahim dan ibu Hj. Rahina.
Keluarga seperti itu sangat memahami makna air sebagai rahmat Tuhan
Yang Maha Pemberi Rezeki. Bila tanpa air (sering diuji dengan kemarau
panjang) maka dengan sendirinya rezeki menjadi berkurang baik dalam
jumlah dan keberkatannya. Perkenalan dengan al-qur’an surat al-ambiya
ayat 30 yang berbunyi: ”Kami jadikan semua yang hidup dari air, mengapa
kamu tidak mau beriman”, menjadikan penulis semakin memahami ”harga”
air hujan – tidak ternilai.
Sejak masih menyewa dari bedeng ke bedeng
di dasa warsa 70-an hingga 90-an penulis mempunyai cita-cita untuk
memiliki sebidang tanah di manapun berada untuk dibangun sistem panen
hujan. Sistem panen hujan yang dimaksud adalah sistem yang dibangun
untuk menampung semua air hujan yang jatuh pada lahan pekarangan dan
rumah. Alhamdulillah pada tahun 1998 bulan Agustus penulis dipertemukan
dengan tetangga di luar tembok luar kompleks tempat penulis tinggal 5
tahun sebelumnya. Dia menawarkan lahan rawa persis di berbatasan tembok
kompleks Bukit Sejahtera.
Setelah dicapai saling pengertian dan
perjuangan panjang (karena uang terbatas) maka lahan rawa dengan luas
1.440 m2 itu resmi menjadi milik keluarga. Lahan ini mulai ditata.
Prinsip “tidak menimbun bila tidak menggali” mulai diterapkan. Rawa
yang semula ditanam padi itu pada bagian tertentu digali lalu tanahnya
ditimbunkan di bagian yang lainnya. Mimpi penulis ingin membangun rumah
panen hujan mulai timbul dan tumbuh dengan subur. Pembangunan rumah
tersebut memperoleh pinjaman lunak dari Bank Sumsel Syariah Palembang.
Langkah awal yang lakukan adalah menggali
kolam di bagian timur (disepakati sebagai bagian depan) dan di bagian
barat (disepakati sebagai bagian belakang). Di bagian timur penulis
rancang sebagai kolam
(a) semua air atap ditampung
(b) dari dak palsu disalurkan dengan dengan dak palsu pipa ke penyaringan
(c) air hujan ditampung ke kolam renang
(d) hujan yang jatuh di halaman ditampung
di kolam depan rumah penampungan air hujan dari seluruh lahan. Luas
kolam ini dirancang berukuran panjang 30 m dan lebar 12 m (25% dari luas
lahan). Di bagian belakang adalah kolam penampungan air (belakangan
dijadikan kolam renang) yang berasal dari sebagian besar atap rumah.
Kolam renang ini berdimensi panjang 7 m lebar 5 m (2,5% dari seluruh
luas lahan). Daerah yang ditimbun selanjutnya ditanami sejumlah jenis
tanaman – pisang, ubikayu, sukun, kelapa, mangga, durian, pepaya dan
sebagainya.
Sekeliling bangunan dibuat dak palsu
sebagai “talang”. Alhamdulillah ¾ atap rumah sudah diarahkan saluran
pengaliran air hujan menuju “cikal bakal” kolam renang. Sisa atap yang
sudah dibuat talang berupa dak palsu sudah dibuat pipa penyalurannya
tetapi masuk ke kolam di depan rumah. Setiap terjadi hujan lebat air
hujan yang jatuh di bagian atap sebelah belakang rumah mampu
menghasilkan air pengisi kolam renang puluhan meter kubik. Sedikitnya
sekitar 6 sampai 10 meter kubik air bersih tertampung dalam kolam ini
setiap kejadian hujan. Kolam yang bisa menyampung 40 m3 itu penuh dalam
beberapa kali hujan lebat. Jumlah itu menghemat rekening ledeng hingga
Rp 300 ribu per bulan bahkan lebih besar dari jumlah itu.
TANGKI AIR BERMETER, SEBAGAI BAGIAN PANEN HUJAN
Ada yang unik dengan pembangunan sistem
panen hujan pada rumah penulis di Komplek Bukit Sejahtera blok DM 99 RT
56 Bukit Lama Palembang 30139 Indonesia. Pertama, tangki tersebut yang
dirancang bersama antara penulis dan James Miller (James adalah yunior
penulis dari University of Cranfield Inggrisn – diundang sebagai tenaga
volunter dari Silsoe Aid For Appropriate Dvelopment – SAFAD). Keunikan
Pertama adalah meter penunjuk ketinggian
muka air dalam tangki. Kedua, bentuk tangki yang bulat dan panjang –
mirip peluncur satelit). James menyarankan banyak hal tentang desain
tangki. Penulis juga melakukan yang sama. Namun, tukang kepercayaan
penulis sudah sangat pengalaman dan bila mereka (dua orang) tidak setuju
maka akan dibantahnya dan dicarikan alternatif yang dianggap paling
baik. Pembuatan meteran pembaca tinggi muka air berbeda dengan saran
semula yakni disatukan dengan pipa penyaluran air. Dengan menggunakan
elbow dan selang trasparan serta paku clamp dibuatlah meteran tersebut.
Alhamdulillah fungsinya baik dan enak dilihat. Bentuk tangki air hujan
yang bulat dan panjang menjadi daya tarik tersendiri.
Yang Menarik bahwa meskipun diameternya
hanya 2 m dan tingginya 3 m tetapi isinya bukan 6 m3 melainkan sekitar
10 m3. Ini menambah kekaguman penulis kepada sang pencipta jagad raya
yang semuanya berbentuk bola dengan demikian luas permukaannya luas dan
isinya banyak. Meski bumi dianggap planet yang berukuran “kecil”
dibanding dengan kebanyakan planet lain dalam tata surya matahari kita
namun karena bentuknya seperti bola maka diyakini bahwa dalam waktu lama
bumi tak akan penuh dengan manusia. Bumi bisa mendukung kehidupan
manusia sampai i jumlah sebanyak-banyaknya. Insya-Allah. Sejak
terbangunnya tangkii bermeter ini penulis semakin ingin mengajak semua
pihak untuk menerapkan sistem panen hujan tersebut di manapun. Tidak
urung kepala Dinas Pendidikan kota Palembang pernah menyatakan kepada
penulis tentang niat beliau untuk membangun sistem panen hujan pada
sekolah-sekolah yang ada di kota Palembang. Penulis waktu itu menjawab:
“siap pak, kami akan bantu”.
KEUNTUNGAN MENERAPKAN SISTEM PANEN HUJAN
Semua kita termasuk penulis masih senang
dengan fadhilah sesuatu amalan. Bila seseorang beriman maka selanjutnya
dia beramal shaleh. Kalau tidak maka imannya akan rusak. Karena orang
beriman mirip dengan sebatang pohon yang rindang dan kuat akarnya. Pohon
seperti itu harusnya menghasilkan buah yang disenangi lingkungannya –
manusia, binatang dan sebagainya. Buah ini sama dengan amal shaleh. Amal
shaleh yang benar harus dilengkapi dengan upaya saling berwasiat
tentang kebaikan dan saling berwasiat tentang kesabaran. Jadi tidak
lengkap bila hanya dengan memenuhi kebutuhan sendiri- tidak mengajak
orang lain. Panen hujan bukanlah hal sulit, yang penting ada kemauan.
Orang yang memahami dengan baik fadhilah sesuatu perbuatan tentu tidak
dengan serta merta pasti akan mengamalkannya (menerapkan teori yang ada
padanya). Upaya sosialisasi atau pemberian pelatihan tentang sistem
panen hujan di rumah-rumah merupakan awal yang baik. Bila telah tumbuh
kesadaran bahwa panen hujan merupakan pekerjaan mulia – baik untuk diri
sendir maupun lingkungan maka diyakini orang akan mengadopsinya. Maka
bila semua penduduk sudah banyak menerapkan sistem panen hujan tidak
saja ia akan memperoleh air hujan yang berkualitas tetapi dapat terjadi
pengurangan banjir di sekeliling tempat tinggalnya.
Bagaimana sistem panen hujan bisa
mengurangi banjir? Banjir yang dapat dikurangi dengan sistem panen hujan
tentunya banjir yang hanya disebabkan oleh air hujan. Banjir karena
limpahan air sungai akibat pasang atau banjir kiriman tidak dapat
diatasi dengan panen hujan. Ambil contoh pada areal lahan seluas 1500
m2. Pada areal seluas itu bila terjadi hujan selama 1 jam dengan
intensitas 50 mm/jam. Bila semua areal lahan itu kebanyakan merupakan
areal kedap air- atap, pelataran dari semen, jalan aspal maka nilai
karakteristik tangkapan (catchment characteristic, cc = 0,90). Dengan
demikian jumlah air yang terakumulasi dari areal lahan tersebut = 1500 x
0,90 x 50 x 0,001 m = 67,5 m3. Bila ada sistem panen hu jan dalam
bentuk kolam renang, tangki dan kolam ikan maka air dalam jumlah
tersebut tidak akan membanjiri areal lahan. Bila dari atap seluas 250 m2
semuanya masuk ke tangki dan kolam renang maka berarti air hujan yang
terpanen adalah sebanyak 1/6 x 67,5 m3 = 11,25 m3. Bila hujan dua kali
dari intensitas semula maka air hujan dengan kualitas baik yang bisa
disimpan adalah 22,5 m3. Jumlah ini sama dengan 6 tangki air PDAM. Bila 1
tangki harganya Rp 100 ribu maka keuntungan dari menampung air sama
dengan Rp 600 ribu. Angka ini hanya menggambarkan kesyukuran kita
pada-Nya.
Hujan yang dipanen secara baik dan
berkala di rumah sendiri, perkantoran, pasar, mesjid dan tempat-tempat
lainnya akan banyak selali memberi keuntungan. Keuntungan seperti ini
tentu saja berdimensi waktu yang lama namun memberikan banyak manfaat –
ekonomis, sosiologis, teologis dan ekologis. Secara ekonomis sudah tidak
bisa diragukan lagi. Air hujan memberikan keuntungan yang berlapis dan
efeknya multi. Dengan banyaknya air – ikan dan tanaman produksinya
berlimpah. Air hujan yang ditampung di kolam bisa disaring dengan
ijuk-pasir-arang-pasir-koral, hasilnya dimanfaatkan untuk mandi, cuci,
siram tanaman dan cuci kendaraan serta halaman rumah.
Tampungan air berbentuk kolam berfungsi
sebagai objek wisata yang alami. Pohon di sekitar kolam yang rindang
mengundang satwa dengan bunyi yang bermacammacam. Ada kolam berarti
memungkinkan dibangunnya air mancur dan/atau air terjun.
Kondisi seperti ini menjadikan penghuni
rumah nyaman- serasa seperti tinggal di dekat bukit/ngarai alami. Air
berisik dan terkadang ikan melompat-lompat seperti ingin bermain di
sekitar jatuhnya air.
Meminta orang sekitar untuk menangkap
ikan dengan cara tradisional – menggunakan waring besar seperti pukat
harimau – memberikan pelajaran berharga kepada penulis dan keluarga.
Tiga empat orang kepercayaan sejak lama menangkapkan ikan pada kolam di
halaman rumah yang berdimensi cukup luas dan dalam itu. Tanpa ada
perjanjian berapa ongkos untuk “bekarang” ikan itu mereka secara
sungguh-sungguh dan sabar menangkap ikan- tidak peduli dingin atau panas
matahari. Memang banyak ikan yang berhasil ditangkap. Sayang mereka
melewatkan sholat zuhur dan bahkan ashar. Pada saat salah seorang
terkena sengatan listrik karena saat terakhir mereka merasa lelah
penulis menyarankan memakai sistem “setrum”.
Menangkap ikan dengan menggunakan setrum
listrik sesungguhnya tidak dianjurkan dari aspek apapun – berbahaya bagi
penangkap ikan maupun bagi ikan itu sendiri. Bagi penangkap bahaya
setrum listrik dapat terjadi melalui sebab yang beragam – ada kabel
telanjang dan sebagainya. Waktu itu pernah satu orang kena setrum dan
hampir mati. Pada saat itulah penulis “menggugah” hatinya dengan
memberikan nasehat berupa jangan tinggalkan sholat, karena Allah masih
memberi kesempatan anda hidup. Tanpa jawaban yang pasti kecuali dia
ingin bersedekah tanda bersyukur bahwa dia masih hidup.
Pengalaman lainnya adalah bahwa ada jenis
ikan yang tidak tahan dengan himpitan derita sewaktu di-“rumah”kan
sementara pada bak air berukuran 2 m x 1 m x 1 m. Banyak ikan kecil dan
jenis tertentu yang mati. Ikan yang disetrum juga mati, tetapi ada jenis
tertentu yang tidak mati. Terangkatnya ikan-ikan dan udang kecil tanpa
diambil “pemilik” kolam menjadikan penulis sempat merenung sebagai
“pelajaran” dari Tuhan. Permisalan dari kejadian ini adalah bahwa
pemimpin umat semestinya “bijak” karena sepak terjang mereka banyak
membuat “sengsara” masyarakat kecil. Sangat sering terjadi di sekitar
kita bahwa para pemimpin sepertinya “akor-akor” tetapi pengikut mereka
saling membunuh.
Pelajaran lainnya yang dapat dipetik dari
kolam adalah bahwa limbah domestik dari dapur ternyata tidak
“mencemari” kolam yang jumlah airnya hampir 800 m3 itu. Pelajaran ini
mungkin merupakan “amsalu” dari ayat al-qur’an yang menyatakan bahwa
perbuatan dosa dapat “dilebur” oleh adanya “danau” kebaikan. Bahkan
kedatangan “limbah” yang kotor dan jorok itu (dua hari sekali) disambut
oleh udang berbagai ukuran dan jenis, siput air, serta ikan berbagai
jenis dan ukuran. Gudang tempat air dan limbah itu ternyata sejak lama
telah Allah “sulap” menjadi rumah udang gala, ikan, siput dan
sebagainya. Tidak kurang ribuan kilogram biomassa yang lezat dan
menyehatkan itu telah membuktikan firman Tuhan
“kami_jadikan_semua_yang_hidup_dari_air” itu.
“Betapa mulianya Engkau wahai Yang Maha
Mulia”, penulis sering bergumam. Bayangkan ikan, udang dan siput yang
sering diberi hidangan -yang busuk-busuk, basi dan tidak pernah akan
dikonsumsi kembali oleh “manusia” yang mengklaim dirinya mulia itu –
tumbuh dan berkembang biak dengan aneka warna dan ukuran. Ikan patin ada
yang berukuran 3 kg, gurami sekitar 2 kg, ikan seluang yang lebih besar
dari saudaranya di sungai-sungai, udang gala dan sebagainya. Tetangga
dan para penangkap ikan bergembira dengan kehadiran ikan dan udang itu
di rumah mereka. Ikan seluang menurut salah seorang tetangga baru satu
kali ini berukuran “jumbo”.
“Subhanallah”. Melalui kebaikan Engkau ya
Allah, biomassa yang tadinya busuk itu kami makan dengan lezatnya. Ini
sama dengan pepatah yang mengatakan “keburukan dibalas dengan kebaikan”.
Lezatnya udang dari kolam “serba guna” di halaman rumah penulis itu
sempat dimakan dengan lahapnya oleh James Miller, tamu kami yang
mengundang barokah Allah yang banyak.
BAGAIMANA KUALITAS AIR HUJAN DAN KOLAM?
Penulis telah melakukan analisis fisik,
kimia dan biologis air hujan, air kolam dan air kolam yang disaring
menggunakan saringan : ijuk_pasir_arang_pasir_koral_pasir_dan_batubata.
Secara fisik, kimia dan biologis semua air hujan memenuhi syarat
kesehatan sebagai minum, sedangjkan air kolam yang dijadikan kolam ikan
tidak memenuhi persyaratan kesehatan untuk air minum. Analisis
fisik-kimia-dan-biologis air dilakukan pada Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan Palembang melalui kebaikan mitra penulis meliputi Birmansyah
dan Heri (S2 Pengelolaan Lingkungan PPS Unsri) serta Amar Muntaha
(Kandidat S3 Ilmu Lingkungan PPS Unsri).
PENUTUP
Membangun rumah sistem panen merupakan
bentuk kesyukuran kepada Tuhan Yang Maha Bersyukur. Dari konteks apa hal
itu dikatakan bersyukur. Secara hakikat, semua yang di atas permukaan
langit dan bumi serta apa-apa yang ada didalamnya bertasbih kepada Tuhan
mereka. Tasbih mereka itu paling tidak adalah “subhanallah” (maha suci
allah – tanpa kekurangan satu apapun jua). Hujan sebagai salah satu
makhluk ciptaan Tuhan tentu bertasbih. Nah bila hujan “bertamu” ke
halaman, ke atap atau ke atas lahan pertanian kita maka sebaik-baik
“tuan rumah” adalah mereka yang melayani “tamunya” dengan baik. Allah
sangat senang yang memuliakan tamu karena hal itu adalah bagian dari
tanda syukur kepada-Nya.
Penulis berkeyakinan bahwa dengan
kesyukuran di atas maka Allah telah menganugerahkan banyak sekali rezeki
– melalui upaya panen hujan – pohon buah tumbuh subur, banyak burung
yang datang dengan suara yang merdu, ikan dan udang beraneka-ragam,
ditambah banyak tamu yang berkunjung dan sebagainya. Pemilik rumah dan
rumah itu sendiri sering dipotret oleh wartawan dan gambarnya dimuat di
harian, majalah, televisi dan sebagainya. “Maka nikmat mana lagi yang
masih kamu dustakan?”. QS surat ar-rohman. Mari kita tunaikan tugas kita
dengan baik – sebagai khalifah, hamba Allah dan da’i ilallah.
Bila anda punya ilmu pengetahuan dan
teknologi tentang apa saja maka yang penting adalah bagaimana ilmu yang
diperoleh itu disyukuri dengan jalan menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Demikian juga dengan sistem panen hujan ini setelah anda
paham maka penulis ingin mengajak untuk menerapkannya. Mulailah dari
yang kecil, mulailah sekarang dan anjurkanlah kepada orang lain. Di sini
akan berlaku ilmu yang bermanfaat dan amal jariah. Wassalamu alaikum,
walhamdulillahirabbil ‘alamin.
Penulis,
H. Supli Effendi Rahim; Desember 2007; zulhijjah 1428 H Dedicated sincerely to my lates mother and father in_law: Hj Umi Kalsum, H. Damiri Rais, grand fathers Merinsan & Hamzah, grand mother Muntianan & Nurmima, Father H. Rahim, mother Hj. Rahina, sister Asmiti: last not least my wife Dr. Hj. Nurhayati & all children; my adopted father & mother H. Rohimi & family; bothers and sisters; all of my teachers in Palembang, Bengkulu and Bedford England.
H. Supli Effendi Rahim; Desember 2007; zulhijjah 1428 H Dedicated sincerely to my lates mother and father in_law: Hj Umi Kalsum, H. Damiri Rais, grand fathers Merinsan & Hamzah, grand mother Muntianan & Nurmima, Father H. Rahim, mother Hj. Rahina, sister Asmiti: last not least my wife Dr. Hj. Nurhayati & all children; my adopted father & mother H. Rohimi & family; bothers and sisters; all of my teachers in Palembang, Bengkulu and Bedford England.
RUMAH PANEN HUJAN ATAU RUMAH LESTARI
Oleh: H. Supli Effendi Rahim
Sumber: http://suplirahim.multiply.com/
Sejak pendidikan di Inggris pada era
1980-1990 saya banyak merenung dan merenung. Salah satu renungan saya
kala itu adalah bahwa Inggris mempunyai curah hujan yang relatif rendah
yakni sekitar 700 mm per tahun. Jumlah ini hanya sekitar 25% dari apa
yang dianugerahkan Tuhan kepada bangsa Indonesia. Di negara kita curah
hujan tahunan berkisar antara 1500 mm di bagian timur dan dapat mencapai
4500 mm di bagian barat Indonesia.
Dengan curah hujan yang jauh lebih rendah
dibandingkan curah hujan negara kita ternyata Inggris jarang mengalami
kekurangan air bersih (air ledeng). Selidik punya selidik ternyata
mereka sudah mengerti dengan pesan dari langit – Tuhan. Meskipun mereka
juga dikenal dengan negara “godless country” tetapi dalam konteks ini
mereka memahami pesan Tuhan mereka – bersyukur dengan pemberian Tuhan.
Tuhan memberi mereka curah hujan yang mencukupi. Mengapa bisa mencukupi?
Ternyata mereka memanen hujan antara lain
dalam bentuk “runoff harvesting” (panen air limpasan). Di mana-mana
dibangun danau buatan. Dengan danau yang berukuran raksasa yang menyebar
di seluruh negeri maka kebutuhan air untuk irigasi dan untuk kebutuhan
lainnya menjadi tercukupi. Air bersih yang mereka distribusikan kepada
pelanggan juga didaur ulang sekian kali.
Kondisi kontras ternyata terjadi di tanah
air kita. Kalau musim penghujan air hujan membentuk air bah (banjir).
Sebaliknya di musim kemarau ketiadaan air untuk mandi, cuci dan kakus
(MCK) merupakan menjadi hal biasa. Dengan kondisi begini berarti tanaman
dan hewan ternak tentu jauh dari kecukupan air. Banyak ternak, kolam
ikan dan tanaman menjadi kekurangan air. Ironis bukan?
Beranjak dari kondisi itu saya berfikir
dan bekerja keras. Yang saya lakukan adalah membangun opini di
masyarakat tentang bagaimana mengubah fenomena banjir dan kekeringan ini
tidak lagi menjadi fenomena derita. Walaupun tidak bisa meniadakan
banjir dan kekeringan, tetapi saya ingin sekali banyak pihak menjadi
sadar bahwa air yang dikirim ke bumi dari langit bukan laknat tetapi
merupakan rahmat. Sebaliknya kekeringan di musim kemarau merupakan era
di mana radiasi matahari merupakan sumber energi yang sangat baik untuk
berlangsungnya fotosintesis. Dari proses ini dihasilkan banyak senayawa
organik seperti karbohidrat, lemak dan protein. Yang dibutuhkan adalah
khlorofil. Khlorofil terbentuk bila cukup air. Karena itu bila air
ditampung selama musim hujan, maka akan banyak manfaatnya di musim
kemarau.
Mencoba agar fenomera tersebut menjadi
kenyataan saya diberi kesempatan oleh Allah, Tuhan yang maha kuasa untuk
memodifikasi rumah sebagai ajang “kemarahan” saya dengan sulitnya
meminta dukungan dari banyak pihak untuk membangun rumah panen hujan.
Terus terang saya mempunyai uang terbatas yang tidak terbatas pada diri
saya dan keluarga adalah semangat dan kasih sayang sesama. Pada tahun
1998. Saya menemukan lahan rawa di pinggir kompleks perumahan Bukit
Sejahtera Palembang, tepatnya di sebelah rumah nomor DN 22, DN 23 dan DM
4. Lahan ini memanjang berukuran 59 m dan lebar 24 m. Luas lahan ini
sekitar 1440 m2. Lahan ini memanjang dari timur ke barat.
Bagi saya lahan ini sangat tepat karena
lahan ini merupakan tempat air (tangkapan) sewaktu musim penghujan.
Untuk itu saya harus menggunakan prinsip “menggali bila ingin menimbun”.
Alhamdulilah setelah lahan saya tata di mana untuk rumah di mana untuk
kolam, maka di sepakati bahwa rencana bangunan rumah saya letakkan di
bagian barat dan di bagian timur kolam ikan. Rencana rumah nantinya di
bagian belakang akan dibangun kolam renang yang saya rencanakan berguna
multi guna yakni sebagai sumber air untuk cuci pakaian, untuk
penampungan air hujan dan kolam untuk mandi.
Kolam ikan di bagian timur juga saya akan
gunakan dengan multi-guna yakni sebagai tempat penampungan ir hujan
dari seluruh areal, tempat penampungan limbah domestik dan tempat
membesarkan berbagai jenis ikan serta tempat rekreasi. Belakangan air
kolam itu menjadi sumber air yang baik untuk cuci kendaraan dan sumber
irigasi untuk tanaman.
Setelah enam tahunan berksperimen saya
mulai “membangun” rumah panen hujan yang saya telah lama saya
rencanakan. Rumah itu atapnya akan saya lengkapi dengan dak-dak palsu
sebagai talang untuk penampungan air hujan. Nah tahun 2006 semua selesai
dan air hujan ternyata dengan curah hujan gerimis sampai lebat akan
terkumpul di kolam renang belakang rumah. Semua bisa mandi, tetapi ada
sedikit yang tidak baik yakni rekening air ledeng saya tinggal 30 a/d 40
persen dibandingkan bila saya tidak mengunakan rumah panen hujan ini.
Mudah2an tidak menjadikan teman2 di PDAM kecewa. Tetapi dalam fikiran
saya bila ini ditiru jutaan rumah di seluruh tanah air dan bahkan dunia
maka fenomena banjir dan kekeringan akan menjadi berkurang. Ok pembaca
nanti saya akan cerita lebih lengkap. Wass.
videonya boleh ditengok di sini: http://www.youtube.com/watch?v=43t8bFztUuARumah Panen Hujan
Oleh: H. Supli Effendi Rahim
Sumber: http://suplirahim.blogspot.com/
Suatu hari di akhir November 2009 saya
mengundang mahasiswa S3 PPS Unsri untuk datang ke rumah kami di Poligon
blok DM 99 Palembang. Tujuannya tidak lain adalah silaturahim sambil
melakukan kuliah lapangan. Sejumlah 11 mahasiswa hadir kecuali satu
orang pulang kampung ke padang. hadir juga dalam kongko-kongko di teras
rumah istri saya itu sejumlah mahasiswa ekstension FT Unsri yang
dibimbing oleh kandidat doktor Reni Yunan.
Pertemuan yang sederhana penuh canda itu dimulai dengan sambutan saya tuan rumah tentang rumah panen hujan.
Cerita dimulai dengan ungkapan bahwa saya
sudah lama sekali memahami fenomena pengelolaan rawa yang ramah
lingkungan dikaitkan dengan rumah panen hujan. Ada sejumlah latar
belakang mengapa saya tertarik dengan pembangunan rumah panen hujan
tersebut.
Pertama, negara kita – Indonesia – selalu
mengalami peristiwa banjir di musim penghujan dan kekeringan di musim
kemarau. Berdasarkan hasil kajian atau analisis terhadap neraca air di
kawasan bukit besar dan sekitarnya maka sangat jelas bahwa kawasan di
mana rumah di bangun itu mengalami surplus positif pada bulan-bulan
Oktober sampai April, sebaliknya surplus negarif pada bulan-bulan Mei
sampai September.
Kedua, saya ingin sekali membangun rumah
sebagai contoh kepada masyarakat luas yang memanen hujan dengan berbagai
cara, selain itu juga dapat mengolah air limbah domestik. Sudah
merupakan fenomena yang sangat menyedihkan pada waktu hujan lebat air
mengalir bebas dan terkadang sempat membanjiri daerah sekitar, sedangkan
pada musim kemarau kekeringan. Bila demikian maka ada kesan bahwa air
menjadi tidak bermanfaat tetapi sering juga menjadi sumber mudarat.
Ketiga, Kalau masa sekarang atau masa
yang akan datang konsep rumah panen hujan ini sudah menjadi budaya
sebagian besar masyarakat di suatu DAS maka diyakini bahwa tidak saja
bahaya banjir bisa dielakkan tetapi juga halaman rumah adalah sumber
pendapatan keluarga sekaligus terkendalinya pencemaran lingkungan.
Atas dasar tiga hal itu di samping pertimbangan lain, saya dan keluarga bersepakat untuk membangun rumah rumah panen tersebut.
Pertama, dalam pembangunan itu dilakukan
penataan ruang (spatial arrangement). Dari luas tanah yang dulunya
adalah rawa dengan kedalaman genangan tertinggi adalah 30 cm direkam
bahwa lahan itu pada awalnya adalah tempat peresapan air sebanyak 450
m3. Dari perhitungan neraca air yang merupakan penghitungan berapa air
yang masuk, berapa yang keluar, dan berapa yang dapat ditampung dengan
berabagai cara (tangki, sumur, kolam renang dan kolam ikan) diperoleh
angka untuk pembangunan kolam ikan. Kolam ikan yang direncanakan
mempunyai fungsi yang banyak antara lain penampungan semua air yang
masuk kawasan itu (air hujan dan air limbah domestik). Disepakati bahwa
kolam itu berdimensi 30 m x 10 m x 4 m atau mempunyai kapasitas tampung
1200 m3. Luas kolam ini lebih kurang 25% dari luas seluruh areal. Tanah
dari hasil galian kolam itu selanjutnya digunakan untuk menimbun areal
75% dengan ketinggian sekitar 100 cm dibandingkan dengan ketinggian
permukaan tanah alami.
(akan dilanjutkan)
07:33 |
Category: |
9
comments
Comments (9)
jadi lebih mensyukuri nikmat hujan yang di anugerahkan ALLAH SWT prof :)
saya suka dengan blog ini prof..
nanti kalo saya punya rizki..
ingin sekali bikin rumah panen hujan..
insyaa allah...
amin
Kita seringkali menyalahkan Tuhan jika banjir atau pun musim kemarau.
Sudah sepatutnya kita manusia untuk bersyukur untuk setiap pemberian Tuhan Yang Maha Esa termasuk untuk air hujan yang diturunkan ke dunia ini. Ternyata banyak manfaatnya untuk sesama makhluk.
Jika saya punya rejeki, saya berharap bisa membuat rumah panen hujan. Amin!
Terimakasih buat Prof.Supli yang telah berbagi berita mengenai etika dan nilai lingkungan.
Rumah Panen Hujan, sebuah kalimat yang memiliki pengertian yang mendalam yang sangat berguna baik sebagai diri pribadi,lingkungan serta masyarakat di sekitar kita.Disini kita akan dapat memanfaatkan rahmat dari Allah berupa hujan dengan tidak membuangnya begitu saja.Disamping itu juga kita jadi lebih beretika terhadap tetangga dimana air hujan dari rumah kita tidak mengganggu yang lainnya.Terima kasih Prof.sudah menginspirasi saya untuk bersyukur terhadap semua karunia Allah SWT.Karena di dunia ini sesungguhnya tidak ada yang sia-sia
rini...benar... memanifestasikan syukur itu dengan menyayangi alam dan berbagi kepada sesama
kartika sari dan sutrisari... semoga doa dan cita2 kalian tercapai... dunia ini tidak ada yang sukar jika kita mau... hanya ini bukan tujuan....tujuan kita bagaimana masuk surga tanpa hisap... niatkan dunia hanya untuk pengabdian kepadaNya..mengharap ridhoNya
hawa triana.. sama-sama.. benar sekali.. tidak ada yang sia-sia... tergantung kita mau atau tidak
Insya Allah .. saya punya keinginan membuat "rumah panen hujan" walaupun dengan luas rumah/lahan yang lebih terbatas..